HarusTahu.info - Koleksi 2 Cerpen kasih sayang ibu singkat dan penuh haru, cerita pendek kasih sayang ibu mengingatkan kita untuk selalu terus berbakti kepada orang tua khususnya ibu.
Koleksi 2 Cerpen Kasih Sayang Ibu Terbaik
Saya akan membagikan kisah dari cerita pendek tentang kasih sayang ibu, betapa luar biasa jasa seorang ibu kepada anaknya.
Kasih ibu sepanjang masa, sayangi beliau selagi masih ada jika sudah tiada maka doakan yang terbaik untuk ibunda tercinta.
Cerita Pendek Kasih Sayang Ibu #1
Cerpen karangan: Celine jk
Di sebuah desa, hiduplah seorang ibu bernama Ratih. Ratih tinggal bersama anak perempuannya yang bernama Lia. Suaminya telah meninggal saat Lia masih kecil. Sejak saat itu, Ratih berperan sebagai ibu sekaligus ayah untuk Lia. Ratih bekerja keras membanting tulang setiap hari. Ia sangat menyayangi putrinya itu. Ratih tak ingin Lia hidup kekurangan.
Suatu hari, Ratih dan Lia sedang menyantap sarapan seperti biasanya. Tapi ada yang aneh dengan sikap Lia. Ia tampak tak berselera makan. Ratih menyadari sikap anaknya itu. Ia pun bertanya.
“Kenapa kamu terlihat tak berselera makan?” tanya Ratih.
“Aku sedang bosan makan sayur. Aku ingin makan yang lain,” kata Lia.
“Makanlah apa yang ada sekarang. Masih banyak diluar sana orang yang tidak bisa makan seperti kita,” Ratih memberi nasihat pada Lia.
“Iya bu,” kata Lia. Ia pun menghabiskan makanannya meski tidak berselera. Setelah sarapan, Lia pamit menuju sekolah. Sedangkan Ratih berangkat untuk berjualan di pasar.
Matahari bersinar dengan terik. Pasar yang tadinya penuh sesak kini sudah sepi pengunjung. Sudah waktunya Ratih membereskan jualannya dan pulang ke rumah. Saat berjalan pulang, Ratih melihat penjual ayam goreng di dekat pintu masuk pasar.
Ia teringat akan Lia. Ia takut Lia tidak ingin makan jika hanya ada sayur di rumah. Ratih tidak setega itu membiarkan Lia kelaparan. Ia memutuskan untuk membeli ayam goreng untuk Lia.
Sesekali tak apa, pikirnya. Ia yakin Lia akan senang melihat apa yang dia bawa.“Lia, coba lihat apa yang ibu bawa!” seru Ratih pada Lia. Lia yang merasa dipanggil menoleh ke arah Ratih. Lia langsung tersenyum senang ketika melihat apa yang dibawa oleh Ibunya.
“Ayam goreng!” teriak Lia senang.
“Sekarang kamu siapkan piring dulu. Ibu ingin ganti baju sebentar,” kata Ratih memberikan bungkusan ayam goreng itu pada Lia. Lia menerimanya dengan sukacita.
“Siap bu,” kata Lia semangat. Ia bergegas mengambil piring dan nasi lalu mulai makan. Ratih tersenyum melihatnya. Meskipun hanya sepotong ayam namun bisa membuat Lia tersenyum.
“Ibu mau?” tanya Lia pada Ratih yang hanya memandanginya tanpa ikut makan.
“Tidak, habiskan saja,” jawab Ratih tersenyum. Lia pun menghabiskan makanannya dengan lahap.
“Ayamnya enak sekali. Ibu memang yang terbaik,” kata Lia memeluk Ibunya. Ratih membalasnya dengan pelukan hangat. Sungguh besar kasih sayang Ratih pada Lia. Hanya Lia yang Ia punya. Ratih senang jika Lia dapat bertumbuh dengan baik, walaupun tanpa seorang ayah.
Beberapa tahun kemudian, Lia bertumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar.
Setiap hari ia rajin belajar. Saat lulus SMA, Lia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kota untuk meraih cita-citanya.
Karena usahanya, Ia berhasil mendapatkan beasiswa di kota. Lia sudah mempersiapkan semua dengan baik sampai hari keberangkatannya ke kota. Ratih mengantar kepergian Lia hingga terminal bus.
“Bu, aku pamit ya. Doakan aku,” pamit Lia.
“Ibu akan selalu mendoakanmu. Maaf ibu tidak bisa memberimu uang. Ibu hanya bisa membawakanmu bekal makanan,” kata Ratih memeluk Lia. Lia membalas pelukan Ratih dengan erat.
“Tidak apa-apa. Ibu selalu jaga kesehatan ya,” kata Lia.
Tak lama, bus yang akan ditumpanginya pun tiba. Lia melambaikan tangan pada Ratih saat bus mulai berjalan.
Sementara Ratih yang menyaksikan kepergian Lia ke kota merasa bangga sekaligus sedih. Ia bangga karena Lia bisa pergi ke kota untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi ia sedih karena Lia akan meninggalkannya seorang diri. Tapi rasa sedihnya tidak lebih besar dari rasa bangganya.
Di kota, Lia belajar dengan sungguh-sungguh. Pada tahun awalnya tinggal di kota, Ia masih sering memberi kabar pada ibunya. Tapi lama kelamaan Lia mulai sibuk dan jarang memberi kabar. Ratih yang khawatir pun menelepon Lia.
“Halo, Lia?” kata Ratih saat telepon baru terhubung.
“Halo ibu? Ada apa?” balas Lia.
“Ibu hanya khawatir terjadi sesuatu padamu. Kamu sudah lama tidak menelpon ibu,” kata Ratih, “Apa ibu mengganggumu?” tanyanya.
“Tidak juga. Aku baik-baik saja,” jawab Lia, “Sudah dulu ya bu, ada yang harus aku kerjakan,”
“Ya sudah, jaga kesehatanmu dan jangan lupa makan,” kata Ratih.
“Ya bu,” jawab Lia sebelum mengakhiri panggilan telepon itu. Panggilan yang biasanya lebih lama. Kini menjadi sesingkat itu karena Lia sibuk berkuliah sekaligus bekerja paruh waktu. Ratih hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Lia. Begitulah waktu berlalu.
Sampai tiba waktunya Lia lulus kuliah. Lia lulus dengan nilai yang baik dan mendapat pekerjaan di perusahaan besar di kota. Semenjak bekerja Lia semakin sibuk dan sangat jarang menelepon Ratih. Mungkin sebulan hanya sekali atau dua kali. Itu pun Ratih yang menelepon lebih dulu.Langit sudah gelap. Lia baru saja menyelesaikan pekerjaan di kantornya.
Saat perjalanan pulang, Lia melihat seorang ibu yang menjual gorengan. Ibu itu terlihat lelah karena berjualan keliling sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Lia yang merasa kasihan menghampiri ibu itu. Ia membeli beberapa gorengan yang belum terjual. Ibu itu berterima kasih karena Lia membeli gorengan yang dijualnya. Melihat ibu itu, Lia jadi teringat Ratih di desa. Sudah lama Lia tidak menghubungi Ratih. Ia rindu Ibunya dan kampung halamannya. Lia berencana akan pulang ke desa akhir pekan nanti.
Tiba saatnya akhir pekan. Lia pulang ke desanya. Tak banyak yang berubah di desanya selama Ia ke kota. Rumahnya pun masih sama seperti dulu. Lia mengetuk pintu rumahnya. Tak lama pintu terbuka. Ratih keluar dari rumah. Tanpa aba-aba Lia segera Ibunya.
“Maaf ya bu, Lia baru pulang sekarang,” kata Lia menangis. Ratih yang melihatnya ikut menangis bahagia.
“Ibu senang kamu pulang,” kata Ratih. “Ayo masuk, Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu,”
“Ayam goreng?” tanya Lia semangat.
“Iya ayam goreng,” kata Ratih. Mereka pun makan bersama sambil melepas rindu.
Lia menceritakan tentang pekerjaannya di kota. Ia juga membeli rumah sendiri dengan gajinya. Lia mengajak Ratih untuk tinggal bersama di kota. Ratih dengan senang hati menerima ajakan Lia. Ia senang dapat tinggal bersama-sama lagi dengan Lia.
Cerita Pendek Kasih Sayang Ibu #2
Cerpen karangan: Rif’il Husniyah
Pagi berembun pengingat masa kecilku. Ketika ibu bercerita bahwa sebelum diinjak oleh orang lain ibu berusaha membangunkanku untuk berjalan di air embun pagi itu. Kasih sayang ibu tak terbalas sepanjang masa dan terabadikan sepanjang hayat. Tak pernah memaksakan kehendak pada anaknya namun tak pula menuruti kemauan anaknya.
Perempuan berkulit putih berwajah manis yang selalu menyambutku dengan senyuman di depan pintu rumah merupakan sosok ibu yang luar biasa. Jika teringat kembali cerita ibu bahwa air embun membuat seorang balita lekas berjalan bagiku hanyalah sebuah mitos.
Tapi aku tak ingin mengecewakan dan memotong ceritanya. Cerita tentang kami anak-anaknya semasa kecil, yang selalu membuat keributan tapi tak pernah dimarahi malah bertambah kasih sayangnya.
Kupu-kupu lenyap sudah ditelan revolusi industri, udara bersih hilang ditelan karbondioksida. Kehidupan berganti, teknologi canggih dan hidup serba instant sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Aku pun menginjak usia remaja akhir di zaman serba ada ini.
Kembali bernostalgia dengan januari 2012. Sebab di tahun itu hati dan jiwaku lumpuh. Hidup simpang siur berbelok ke kanan dan ke kiri, jikalau bertemu sebuah persimpangan aku pun masuk. Tak peduli dengan jeritan hati, perkataan jiwa dituruti, nafsu dipuaskan sudahlah mirip dengan binatang.
Berawal dari januari dan berakhir di Mei. Selama itulah diri ini tak lagi tentu akan rasa, tak lagi cemas dengan dosa namun yang terpenting memikirkan cara ibu sehat kembali. Aku merasa tak berguna ketika belahan jiwa ini berbaring tak berdaya bu. Anak macam apa aku ini bu?
Disaat Wanita yang telah memberikan seluruh hidupnya padaku tergeletak tak berdaya aku hanya bisa membanjiri pipi ini dengan air mata. Andai aku bisa mengulur waktu. Aku ingin kita berganti posisi. Aku yang sakit bu dan merasakan semua penderitaanmu. Sebab tiadalah pantas engkau belahan hatiku pelengkap jiwaku merasakan itu semua.
Di bulan mei aku berbicara keadilan dengan tuhan
Pagi yang sejuk dan sebuah senyuman yang meneduhkan hatiku terpancar dari wajahmu. Setelah sekian lama aku menantikannya, saat matahari terbangun seolah-olah kau telah kembali seperti dulu. Gigitan buah apel yang engkau makan secara perlahan membuatku hidup kembali. Kulangkahkan kakiku menuntut ilmu agar bisa menjadi seorang dokter yang kau inginkan.
Kau pun berpesan padaku “Hati-hati ya nak rajin-rajin belajar”.
Hidupku mekar kembali jiwa yang mati telah bergelora sebab senyum yang hilang telah kembali di wajahmu saat itu bu. Tapi tiada kusangka senyum itulah yang memisahkan kita. Langit seakan pecah di hari itu bu. Berulang kali ku menuntut keadilan kepada tuhan saat engkau kesakitan menghadapi sakaratul maut. Tapi tuhan hanya diam, tak menjawab. Kutuntut lagi keadilan untuk kesekian kalinya agar engkau hidup sepanjang hayatku. Tapi tetap saja tuhan diam bu. Hingga aku berdoa, “Aku ikhlas akan kepergianmu bu”. “aku ikhlaskan beliau permudahlah jalannya menghadap engkau Ya Robb!”
Doaku terijabah, dua kalimat syahadat menghantar kepergianmu.
Jiwaku telah pergi bersama dengan dirimu.
23 05 12
Aku tidak lupa bu
Aku belum iklas dengan kepergiannmu
Hingga 23 05 15
Aku mengerti alasan engkau diambil kembali oleh sang khalik
Aku merindukanmu sepanjang hidupku bu
Bagaimana mungkin aku bisa hidup tanpa dirimu
Itulah yang terpikir olehku saat engkau pergi
Tiada tempat mengadu, berkeluh kesah lagi
Senyum yang terlihat sepanjang hari tinggal duka
Bahkan aku lupa caranya hidup dengan baik
Simpang siur hidupku, tak tentu arahnya
23 05 12 – 23 05 15
Itulah saksi kekhilafanku
Saksi rapuhnya aku tanpamu
Bumi seolah-olah terbelah bu
Ketika lisan tak bisa bicara
Hatilah yang tersiksa
Ketika bulan tak lagi tersenyum
Bintang tak lagi melihat
Apakah aku masih bisa tertawa
Apakah aku masih bisa bersuara?
Hidup dalam kegelapan
Tiga tahun tersesat dalam kebodohan dan kebebasan
Tak peduli apa yang terjadi
Hingga tuhan membuka hatiku
Ibu
Aku sudah lepas dari penindasan jiwa
Dan pemberontak rasa telah lenyap
Aku sudah bahagia di rumahku surgaku
Nah itulah, Koleksi 2 Cerpen Terbaik Tentang Kasih Sayang Ibu Singkat dan Penuh Haru
Komentar (0)