HarusTahu.info - Cobalah mengingat kembali masa sekolahmu! Kamu mungkin pernah berada pada posisi, dimana guru yang sedang masuk kelas membuka sesi untuk bertanya, dan selanjutnya akan ada fenomena rutin yang terjadi.
Anak-anak terpintar di kelas yang berlomba-lomba untuk sebisa mungkin terlihat aktif di depan gurunya. Apakah sikap 'caper' mereka ini salah? Oh tentu tidak ada yang salah dengan mencari perhatian guru di kelas, silahkan cari sebanyak-banyaknya. Realistis saja, toh ini pun demi kebaikan nilai di rapor.
Dalam artikel ini kita tidak akan membahas soal anak-anak pintar yang caper di kelas, tetapi mengenai pertanyaan yang dilontarkan anak-anak ini di kelas kepada gurunya.
Apakah kita memikirkan satu hal yang sama? BENAR! Pertanyaan mereka membosankan!
Kira-kira mengapa hal ini bisa terjadi? Saya rasa tiga tahun pengalaman saya bersekolah di SMA, sudah cukuplah untuk mendapatkan kapabilitas dalam membahas topik ini.
1. Sekedar Formalitas
Jangan salah, ada loh beberapa anak yang bertanya agar hanya untuk sekedar. Sesimpel sekedar diabsen oleh guru pada mata pelajaran tersebut bahwa anak ini aktif. Yang dia pedulikan hanyalah nama baiknya di depan guru tersebut. Demi mempertahankan gelar anak aktif di kelas, mungkin dia rela bertanya sesuatu yang sudah tertulis jelas di buku.
2. Berbelit & Muter-Muter
Kita sebut saja penyakit anak-anak pintar ini dengan sebutan asosiasi longgar. Asosiasi longgar adalah suatu keadaan dimana pertanyaan tidak berhubungan satu sama lain serta tidak membangun makna apapun yang saling berhubungan pula. Singkatnya, si Budi membahas topik A, lalu belum selesai topik A dibahas sudah nyambung ke topik Z lalu tiba-tiba berganti haluan menuju topik F.
Bagaimana mungkin siswa lainnya di kelas bisa paham dengan pertanyaan si anak pintar ini. Lah wong gurunya sendiri juga pusing ngeladenin pertanyaan anak muridnya yang satu ini :D
3. Pertanyaan yang Tidak Efisien
Banyak orang berpikir, bahwa orang yang sering bertanya adalah individu yang kritis. Setidaknya itulah yang dipahami masyarakat awam dan pandangan yang tersebar luas di dunia pendidikan dalam negeri.
Yang mana pemahaman ini keliru, karena berpikir kritis itu bukan tentang seberapa sering orang bertanya, tetapi tentang mengenai seberapa dasar suatu pertanyaan yang dilontarkan dapat menyentuh akar-akar dari suatu permasalahan.
Dan sayangnya, banyak anak-anak ranking atas di kelas memakai pandangan yang salah tersebut dalam menjiwai kekritisan. Semua hal ditanyakan kepada gurunya saat jam pelajaran, semua materi pembelajaran dia permasalahkan.
Apakah salah? Ya setidaknya dia sudah jauh lebih baik daripada mereka yang sama sekali pasif dalam kegiatan belajar mengajar, setidaknya anak-anak pintar ini sudah jauh lebih baik karena masih punya iktikad menghidupkan suasana pembelajaran dan diskursus di kelas (walau dengan jalur yang membosankan).
Kesalahan sepertinya lebih layak dibebankan pada sistem pendidikan tanah air yang tidak memasukkan materi terkait tata cara berpikir yang benar dan tersistematis (logika). Dan para tenaga pendidik nampaknya tidak memiliki inisiatif untuk speak up, karena telah mengira bahwa keadaan seperti ini lah kondisi yang ideal.
Saya pribadi sebagai orang yang pernah mengenyam bangku sekolah adalah tipe yang juga suka bertanya, dan aktif di kelas, tetapi saya mencoba untuk tahu diri, sadar dan aware akan orang-orang lain yang juga ada di kelas (apakah mereka bisa mengikuti topik pertanyaan yang saya lontarkan). Saya lebih mengutamakan kualitas dari suatu pertanyaan daripada kuantitasnya (walau ujung-ujungnya hanya menjadi ajang saya bisa ngetes keilmuan si guru).
Yang selesai membaca artikel ini hanya ada dua kemungkinan, mereka yang merasa bosan saat anak pintar bertanya di kelas, atau kamu lah yang menjadi anak pintar tersebut!







Komentar (0)